Rabu, 06 Januari 2010

DRAMATURGIS SAHABATKU




DIARY SHEET 1
Hari : Kamis
Tanggal : 03 desember 2009
Jam : 10.00 wib
Tempat : Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” Jakarta

PENGAMATAN

Pagi itu di lobby rumah sakit kanker Dharmais tampak ramai pengunjung . kursi-kursi yang berjejeran disepanjang ruangan tampak dipenuhi oleh orang-orang yang entah mereka sedang menunggu panggilan masuk ke ruang periksa, atau mereka memang sedang menunggu kerabatnya. Jalan sedikit menuju lorong sebelah kiri, saya memasuki sebuah ruangan yang berada tepat disebelah ruangan instalasi gizi. Ruangan yang saya masuki tersebut merupakan sekretariat Indonesian Journal of Cancer RS. Kanker “dharmais”

Diruangan Indonesian Journal of Cancer RS. Kanker “dharmais” tampak seorang wanita muda sedang sibuk didepan komputer. Diruangan yang cukup luas tersebut, wanita muda itu terlihat hanya sendirian. Tak lama setelah itu datanglah seorang lelaki berumur 37an duduk dikursi yang bersejajaran dengan wanita tersebut. Mas Herman, lelaki tersebut disapa oleh wanita muda tersebut. Sebagai seorang sekretaris dari jurnal ilmiah kanker ia memang bekerja seorang diri diruangan tersebut. Namum, pada hari ini ia mendapat bantuan dari Mas Herman yang bertugas menjadi kurir. Wanita muda tadi tengah membuka email di acount google miliknya. Ia mendapatkan beberpa laporan dari rumah sakit yang telah menerima pengiriman jurnal kanker. Lalu ia bergegas menuju telepon yang ada tak jauh dari kursinya. Obrolan di telepon pada pagi itu terdengar seperti sedang membahas mengenai isi jurnal. Dari obrolan di telepon tersebut dapat saya perkirakan kalau ia sedang berbicara dengan seorang dokter spesialis.

Rini (25) biasa wanita tersebut disapa merupakan teman lama saya ketika SMP. Ketika duduk dibangku SMP kelas 1 ia didiagnosa Leukemia. Setelah dinyatakan sembuh dari leukemia ia bekerja di jurnal ilmiah kanker di RS. Kanker “Dharmais” jakarta. Ia juga aktif di Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI). Lalu dengan teman-temannya di yayasan tersebut ia juga membentuk CBC (Cancer Buster Community). Yang merupakan perkumpulan bagi para mantan poenderita kanker dan mereka aktif mengadakan kunjungan ke berbagai rumah sakit dan juga aktif mengadakan seminar-seminar.

Pada siang harinya, ia jalan keluar menuju sebuah kantin disudut rumah sakit. Siang itu dikantin tidak terlalu ramai, hanya tampak beberapa pungunjung maupun pegawai rumah sakit yang sedang menikmati santap siangnya. Rini, tampak memesan disebuah kedai masakan jawa. 5 menit kemudian ayam penyet sudah siap untuk dilahapnya. Kalau pegawai-pegawai lain tampak makan siang bersama beberapa rekannya. Hal tersebut berbeda dengan Rini yang datang dan makan hanya seorang diri.

Sekitar pukul 13.00 Rini shalat di mushola lantai 1 RS. “Dharmais” . tampak 3 orang lelaki juga shalat disana. Setelah itu ia menaiki lift menuju ke lantai 4 ruang anak. Rupanya hari ini merupakan jadwal ia mengunjungi pasien kanker anak. Beberapa anak ia sapa dan ia beri semangat. Anak-anak tersebut tampak senang dan bahagia. Sayang hanya sekitar 15 menit ia berbincang-bincang dengan mereka. Karena ia sudah dipanggil dokter untuk datang keruangannya. Setelah keluar dari ruangan dokter, ia langsung bergegas menuju ruangannya. Didepan komputer ia tampak sibuk mengetik hingga sore hari. Kembali ia memasuki mushola untuk shalat. Setelah itu ia masuk kembali keruangannya untuk mengambil tasnya. Tampak ia berpamitan dengan Mas Herman, lalu bergegas keluar dari rumah sakit.

Ditengah hiruk pikuk jalanan slipi yang sore itu tampak padat dan macet, Rini berdiri dengan sabar untuk menunggu bis yang menuju kearah pancoran. Tak lama kemudian ia menaiki sebuah bus 46. Lalu ia hilang dari pandangan.

DIARY SHEET 2
Hari : Jumat
Tanggal : 04 Desember 2009
Jam : 09.00 wib
Tempat : Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” Jakarta

PENGAMATAN

Berbeda dengan kemarin, hari ini Rini sudah ada dikantornya satu jam lebih awal. Tepat pukul 09.00 ia sudah berada diruangannya. Tampak ia membereskan beberapa berkas yang berserakan dimejanya. Terdengar bunyi handphone dari tasnya. Ternyata itu telepon dari dokter. Dari mulutnya yang mungil ia tampak mengangguk-anggukan kepalanya tanda ia mengiyakan perintah dari atasannya tersebut.

Sekitar pukul 13.00 telah hadir beberapa dokter spesialis diruangan tempat ia bekerja. Rupanya pada hari itu mereka akan mengadakan rapat mingguan. Didalam ruangan tersebut ada sebuah meja persegi panjang berukuran besar, yang dikelilingi oleh 6 buah kursi. Tampak duduk disebelah kanan 2 orang dokter laki-laki setengah baya. Disamping kanan 2 orang dokter wanita berparas ayu yang juga berumur sekitar 50 tahun. Dilihat dari gaya gaya bicara dan berpakaian terlihat bahwa mereka merupakan bukan dokter umum biasa. Mereka merupakan dokter spesialis senior dari Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Kerutan diwajah mereka dan uban yang menghiasi rambut mereka menambah kewibawaan mereka. Gaya bicara yang sistematis menambah kesan terpelajar. Rini tampak serius mendengarkan dokter-dokter tersebut berbicara. Duduk ditengah-tengah para dokter senior tersebut tidak membuat Rini merasa canggung atau kaku. Sepertinya is sudah merasa akrab dengan mereka. Walaupun ia hanya seorang sekretaris, tapi ditengah-tengah rapat tersebut pendapat ia pun tetap diperhitungkan. Sembari mencatat beberapa point penting dari apa yang dibicarakan, sesekali ia tampak menjamu peserta rapat. Kue-kue kering ditoples ia tawarkan kepada semuanya. Tepat pukul 15.00 rapat hari itu selsesai.

Setelah membereskan meja rapat dan menyusun beberapa berkas, ia mendapat telepon. Dari pembicaraan yang terdengar, tampaknya ia akan menghadiri sebuah acara dikawasan thamrin. Setelah shalat, ia bergegas menuju pintu keluar RS. Tak seperti kemarin, kali ini ia memanggil ojeg yang sedang mangkal didepan pintu gerbang RS. Dengan sigap ia langsung menaiki ojeg yang sepertinya sudah menjadi langganannya.

Ternyata ia menghadiri sebuah acara penggalangan dana untuk anak-anak penderita kanker. Acara tersebut diadakan di sebuah mal ternama dikawasan Thamrin. Acara tersebut dihadiri banyak artis dan penyanyi. Malam itu Rini bersama teman-temannya dari Yayasan kanker anak, memberikan testimoni didepan para pengunjung. Berikut ini merupakan penggalan testimoni dari Rini

“Aku telah melewati masa-masa perjuangan melawan leukemia sejak tahun 1996, ketika aku masih SMP. Sebelum tahu menderita leukimia, aku lebih dulu sering sakit-sakitan. Biasanya, aku demam selama satu minggu. Setelah dibawa ke dokter, aku memang sembuh. Tapi baru tiga hari, demam datang lagi. Kata dokter cuma pilek, namun kenapa selalu berulang-ulang?

Suatu hari, aku diajak Mama yang berprofesi sebagai guru, menjenguk muridnya yang sakit leukemia. Kebetulan murid itu masih saudara jauh kami. Kondisinya sungguh menyedihkan. Wajahnya begitu pucat dan rambutnya rontok. Awalnya, dia juga mengalami demam dan cepat lelah seperti aku.

Entah karena pernah membesuk muridnya itu atau memang merisaukan penyakitku, begitu aku demam lagi, Mama cepat-cepat membawaku ke dokter spesialis penyakit dalam. Kali ini, Pak Dokter menyarankan agar aku cek darah di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Tiba di RSCM aku langsung cek darah dan diopname. Meski hasil laboratorium baru diketahui seminggu kemudian, Mama menangis sejadi-jadinya. Mama menebak-nebak dan khawatir aku terkena leukemia. Seminggu pasca cek darah merupakan masa awal penderitaan. Rupanya dugaan kuat Mama memang benar. Hasil cek darah di laboratorium
menunjukkan aku menderita leukemia.

"Rin, kamu sakit seperti mereka," kata Mama sembari menunjuk teman-teman satu bangsal di RSCM. Aku yang masih kecil dan lugu waktu itu, cuma bisa terdiam. Aku memang berada satu ruangan dengan anak-anak penderita leukemia. Aku merasa sedih melihat rekan sebayaku yang mukanya pucat akibat sel darah merahnya dimakan sel darah putih di tubuh sendiri.

Pelan tapi pasti, kematian langsung membayang di mataku. Wajah tembem dan pucat, rambut rontok sampai botak seperti teman-teman sebangsal, akankah kualami juga? Apakah nasibku akan seperti murid ibuku yang kemudian meninggal? Aku bergidik takut. "Enggak apa-apa. Bisa sembuh kok. Kamu belum terlambat berobat," kata dokter Jayadiman yang merawatku. Ungkapannya memberi cahaya

Hari berikutnya terasa suram. Masih kuingat betul, aku diopname pertama kali tanggal 23 Oktober 1996. Artinya tiga hari kemudian aku berulang tahun ke-12. Tak ada pesta ulang tahun. Yang ada hanyalah kesakitan. Aku membayangkan hari-hari ke depanku yang buram dan tak pasti. Namun, setiap kali terngiang kata-kata Dr. Jayadiman tentang peluang sembuh, semangatku timbul kembali.

Itu sebabnya, aku rajin minum obat. Padahal usai minum obat, biasanya rasa sakit di tubuh seakan malah menjadi-jadi. Kadang terasa capek yang tak kepalang. Atau sebagian tubuhku seperti ditusuk-tusuk. Masih ditambah lagi, aku seminggu sekali dikemoterapi. Bukan main sakitnya usai dikemo yang bertujuan mematikan sel kanker. Dampaknya adalah rasa mual yang bukan main kuatnya.

Selama diopname, aku terus-menerus dikemoterapi. Secara tak sadar aku telah mematikan rasa sakit di tubuhku. Jadi, setiap kali harus menjalani pengobatan, aku sudah kebal. Akhirnya, setelah 2,5 bulan dirawat, aku diizinkan pulang. Selama itu, aku sudah ditransfusi darah sebanyak 56 kantong.

Meski sudah diizinkan pulang, bukan berarti aku sudah sembuh. Aku masih harus kontrol seminggu sekali. Hidupku masih bergantung pada obat dan terkadang transfusi darah. Bisa dibayangkan betapa kerasnya perjuangan Mama mempertahankan hidupku. Betapa tidak?

Seminggu sekali kami harus ke RSCM. Padahal, kami tinggal di Kampung Pabrik Pandeglang, tak memiliki alat transportasi pribadi untuk ke Jakarta. Untuk kepentingan ke RS, kami harus seharian di angkutam umum. Selama di jalan, sering aku mesti menahan sakit. Kesehatanku memang belum baik betul.

Aku juga tak pernah lagi bermain bersama teman-teman sebayaku. Sekian tahun aku melewati hari-hariku di dalam rumah. Begitu membosankan. Karena bosan pula, sesekali aku mogok minum obat. Tapi Mama tak pernah jera menyodorkan obat padaku. Oh tidak. Aku tak mau menyerah! Aku harus sembuh!!”

DIARY SHEET 3
Hari : Sabtu
Tanggal : 05 Desember 2009
Jam : 10.00 wib
Tempat : Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” Jakarta

PENGAMATAN

Hari sabtu sebenarnya Rini libur bekerja. Hanya saja pada hari ini ia bersama teman-temannya dari Yayasan Onkologi Anak Indoneisa yang tergabung dalam Cancer Buster Community merencanakan untuk mengadakan kunjungan ke bangsal anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais jakarta. Pagi itu bersama 5 orang temannya, dengan penuh semangat mereka menuju kelantai 4. Mereka datang tidak dengan tangan kosong. 10 lebih bingkisan telah mereka siapkan untuk dibagikan pada pasien anak kanker. Sesampainya dibangsal anak, mereka memasuki satu persatu ruangan yang terdiri dari 3 orang pasien tersebut. Tampak kebahagian terpancar dari wajah anak-anak penghuni bangsal itu. Mereka antusias sekali manyambut Rini dan teman-teman. Apa lagi ketika bingkisan cantik yang telah disiapkan mereka bagikan satu persatu pada anak-anak tersebut. Walaupun dengan kondisi yang memprihatinkan, seperti tangan yang diinfus, selang yang terpasang dihidung, bahkan ada beberapa anak yang kondisi fisiknya sangat memprihatinkan. Ada anak yang mengidap kanker mata, tampak bengkak mata sebelah kirinya. Kanker tulang, terlihat bengkak dibagian tangan dan kaki. Hampir dari anak-anak tersebut kesemuanya mengalami kerontokan rambut yang menyebabkan hampir kebotakan. Dapat dimaklumi karena hal tersebut diakibatkan oleh efek yang dialami ketika mereka menjalani pengobatan penyinaran (radiotherapy) yang berfungsi untuk membunuh sel-sel kanker. Walaupun demikian kondisi mereka, tapi pancaran semangat terlihat jelas diwajah-wajah lucu mereka. Rini dan teman-temanpun merasa puas terhadap kunjungan mereka hari itu.

Disela-sela perjalanan pulang menuju tempat kost nya, ia sempat bercerita pada salah seorang temannya mengenai masalah pribadinya. Ia bercerita bahwa orang tua terutama ibunya terus saja mendesak dirinya untuk segera menikah. Padahal ia yang kini tengah asik-asiknya dengan pekerjaan dan kegiatan sosialnya, ingin memfokuskan dirinya dulu pada kedua hal tersebut. Karir dan kegiatan sosial merupakan dua hal terpenting dalam hidupnya saat ini. Masalah jodoh ia serahkan pada Yang Maha Kuasa. Ia bertutur, bahwa ia pun ingin menikah, Cuma sekarang belum saatnya. Selain karena kesibukannya yang menyita waktunya, juga dikarenakan ia merasa belum menemukan lelaki yang cocok yang bisa mendampingi dirinya. Kalau tidak didesak ibunya, sebenarnya ia merasa baik-baik saja. Cuma karena desakan yang begitu hebat yang datang dari ibunya tersebut, membuat dirinya merasa tertekan. Bahkan ia sempat menitikkan air mata ketika bercerita bahwa ibunya begitu khawatir dengan kondosi dirinya yang masih sendiri, sementara anak-anak teman dari ibunya hampir semuanya sudah menikah. Untuk pertama kalinya pada hari itu ia terlihat sedih dan tidak bersemangat. Temannya yang mendengarkan cerita dia tak ragu untuk memberikan masukan dan semangat kepada Rini.

Rini juga sempat diwawancarai sebuah harian ibu kota. Berikut ini merupakan hasil petikannya

Sembuh dari leukemia 10 tahun lalu tidak membuat Natarini Setianingsih jera berhubungan dengan penyakit itu. Kini, bersama empat survivor lainnya, ia justru terjun mendampingi anak-anak penderita kanker. Sejak dua tahun lalu, wanita yang akrab dipanggil Rini itu mendirikan Cancer Buster Community (CBC), komunitas anak dan remaja eks penderita kanker. Kami tergugah untuk memotivasi orang tua dan anak penderita kanker, ujar mojang kelahiran 26 Oktober 1984 itu.

Pasalnya, selama ini, stigma kanker masih menjadi momok menakutkan di masyarakat. Kalau sudah divonis kanker, banyak orang menyerah dan berpikir tentang kematian. Padahal tidak seperti itu seharusnya. Di sinilah CBC berperan, mulai dari melakukan kampanye, pendampingan, hingga memotivasi penderita dan orang tuanya.

Pendampingan tidak melulu serius, khususnya bagi pasien anak. Menemani mereka bermain dan belajar saja sudah cukup.
Sebab, selain deteksi dini dan terapi, psikis yang optimistis dan bahagia akan membantu penderita cepat sembuh. Saat ini, ada sekitar 35 anak yang didampingi CBC. Sebagian merupakan pasien Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais. Di Jabodetabek dan Bandung, anggota CBC mencapai 25 orang.

Rini juga aktif di Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) dan Indonesian Journal of Cancer (IJC), jurnal ilmiah bagi para onkolog seluruh Indonesia. Tidak jarang ia diundang sebagai pembicara dan memberi testimoni sebagai survivor. Dua tahun lalu, ia mewakili Indonesia dalam ajang International Survivor Meeting yang digelar di India. Pada Hari Kanker Anak Internasional, Februari 2006, ia juga menjadi salah satu survivor yang memberi kesaksian di Istana Negara. Hidup saya seperti sudah diarahkan untuk bersentuhan dengan kanker, ujarnyatersenyum.

Untungnya, sejak kecil Rini memang sudah bercita-cita berkarier di bidang medis. Tapi bukan sebagai dokter, perawat, atau bidan, tapi di bidang kebijakan kesehatan, ujar perempuan yang hobi menonton film dan mendengarkan musik ini. Saya menikmati aktivitas yang saya lakukan. Banyak bertemu orang, bisa saling berbagi dan mendapat ilmu. Ternyata ada berkah di balik kanker yang sempat saya derita,
ungkap sarjana ilmu politik itu.